Hukum Pacaran
PACARAN
apakah hukumx?
q kutip dari seorang mas zainur tentang pendapatnya mengenai pacaran
Berkenaan
dengan istilah pacaran, tentu harus dijelaskan apa itu pacaran.
definisi dan penjelasan mengenai pacaran, ternyata tidak sama dan memang
tidak untuk disamakan. satu-satunya yang sama barangkali adalah orang
itu dianggap pacaran, dan punya pacar, kalau sudah jadian. Sepasang
insan yang jadian itu biasanya lahir dari proses saling mencintai,
sehingga saling menyatakan cinta, disebut jadian.
mengenai
cinta, sepertinya kita sepakat, itu fitrah, masa iya cinta haram, nda
lah. cinta ya mubah-mubah saja. konteks cinta sesama insan ini tidak
tepat kalau disandingkan dengan cinta kepada Allah, jadi tidak bisa
ditarik hukum kepada konteks mencintai selain Allah, sehingga haram, nda
.. nda seserius itu.
tentang istilah jadian, mengatakan I love
U, tidak apa-apa, bahkan mengikat komitmen untuk saling mencintai, itu
halal. Dengan demikian, punya pacar pun, artinya punya kekasih, tidak
melanggar apapun dari aturan Islam. (tolong pahami baik-baik redaksinya,
jangan gembira dan jangan berprasangka dulu)
nah, sekarang
pada istilah pacaran. semua aktivitas bersama pacar, kita sebut aja
pacaran. mulai dari sms-an, terus saling memandang, ngobrol, jalan
bareng, dst .. nah mulai dari sini hukum bisa dikenakan.
Hukum
ini sebenarnya tidak menyangkut status pacarannya, mau pacar atau bukan,
hukum ini tidak membedakan status. Hukum ini adalah tentang adab
pergaulan lawan jenis non mahram, dalam Islam (tidak peduli itu pacar
atau bukan). Apakah perlu dijelaskan mengenai non mahram? mahram itu
yang haram dinikah, sehingga sepupu dalam hal ini adalah non mahram.
ada adab berbicara antara laki-laki dengan wanita.
ada adab dalam tolong menolong.
bagaimana hukumnya memandang lawan jenis? saya mengambil pendapat
berdasar kitab Sulam Taufiq, mazhab syafi'i, saya perkuat lagi rujukan
berdasarkan kitab mukhatshor 'abdillah al harari, juga ulama hadits
mazhab syafi'i, begini pendapatnya ..
untuk saudara mahram:
boleh hukumnya memandang bagian tubuh selain aurat besarnya, artinya
memandang selain kemaluan, pantat, dan payudara (aurat besar wanita)
atau selain kemaluan dan pantat (aurat besar laki2) (syaratnya tanpa
syahwat). Jika dengan syahwat, hukumnya haram.
haram hukumnya memandang bagian tubuh yang merupakan aurat besarnya (dengan atau meskipun tanpa syahwat).
untuk non mahram:
boleh memandang selain auratnya, artinya hanya boleh mendang muka dan
telapak tangan wanita, atau bagian tubuh selain diantara pusat dan lutut
laki2. (syaratnya tanpa syahwat). Jika dengan syahwat, maka haram.
diharamkan sama sekali memandang bagian tubuh yang termasuk auratnya (dengan atau tanpa syahwat).
Menyentuh lawan jenis
untuk saudara mahram:
boleh menyentuh bagian tubuh selain auratnya (syaratnya tanpa syahwat), kalau dengan syahwat, hukumnya haram.
haram hukumnya menyentuh bagian tubuh yang merupakan auratnya (dengan atau tanpa syahwat)
untuk non mahram:
haram hukumnya menyentuh baik aurat maupun yang bukan (dengan atau tanpa syahwat)
kasuistik, mengenai salaman. ada yang memasukkan salaman sebagai adat,
sedangkan adat bisa menjadi hukum. ada kekeliruan besar dalam penerapan
kaidah tersebut. tidak semua adat bisa menjadi hukum. hanya adat yang
baik yang bisa menjadi hukum. apa kriteria baik (ahsan)? ya baik menurut
sunnah, kembalikan lagi kepada hadits. sedangkan dalam hadits, sudah
jelas bahwa menyentuh mencakup bersalaman. menyentuh itu ya menempel,
baik dengan lapis maupun tanpa lapis. karena imam syafi'i tidak memaknai
menyentuh hanya sebagai jima' (bersetubuh).
khalwat (berdua-duan)
jelas hukumnya haram. nek sing ngalalke khalwat, ngene tak ndelok raine!
perinciannya: baik ditempat sepi maupun ramai, jika interaksinya yang
intens itu dua orang, meskipun ada pihak ketiga, tapi pihak ketiga tidak
ikut berinterksi secara intens, maka hukumnya tetap khalwat.
kasuistik, berboncengan: termasuk, bahkan termasuk dalam poin menyentuh yang tersebut di atas. jadi haramnya dobel.
kasuistik, sms-an. tidak termasuk, masuknya kepada adab berbicara.
adab berbicara
secara umum, wajib menundukkan pandangan, berbicara dengan tegas, tidak
tunduk dalam berbicara (ora lenjeh), mempersingkat, dan seperlunya.
non mahram yang sudah bersuami/ beristri, ditambah:
berbicara memakai tabir (menurut imam syafi'i, cadar itu wajib bagi
yang sudah bersuami). Harus seizin atau sepengetahuan suami atau
istrinya, dimana ia yakin bahwa suami/ istrinya itu ridho dengan
pembicaraan tersebut.
ikhtilat
bercampur baur antara
laki-laki dan perempuan. tidak ada hukum yang jelas dan tegas, akan
tetapi dalam setiap kesempatan, Rasulullah SAWA selalu mengkondisikan
pemisahan jama'ah laki-laki dan wanita, baik dalam sholat maupun di luar
shalat. contohnya, pintu khusus wanita untuk masuk masjid, posisi jalan
antara laki-laki dan wanita dipisah.
kasuistik dalam ibadah
haji, tidak dipisah karena haji termasuk safar, dan dalam safar, wanita
mesti selalu ditemani oleh mahramnya.
kasuistik, menuntut ilmu
atau perkuliahan. sebaiknya memang dipisah. kalau dicampur, pasti
hilang keberkahannya, kalau nda berkah, ilmunya nda manfaat. apa
tandanya ilmu yang tidak manfaat? semakin jauhnya seseorang dari Allah,
apa tanda seseorang menjauh dari Allah? berkurangnya ketenangan,
bertambahnya kegelisahan.
saya simpel aja, kenapa saya menganut
pendapat2 diatas? selain karena saya menyukai mazhab syafi'i, dan ingin
serius bermazhab dengan konsisten, lebih dari itu, bagi saya
pendapat-pendapat di atas lebih dekat kepada kesucian, lebih
berhati-hati, lebih bisa mewujudkan maqashid asy syar'i. saya juga
melihat kyai-kyai NU yang istiqomah (yang belum kemasukan JIL) sangat
menjaga adab-adab tersebut. saya juga melihat para habaib, yang serius
bermazhab syafi'i, istri mereka bercadar, dan mereka syafi'i (bukan
wahabi). jadi, semakin mantaplah saya mengikuti pendapat yang juga
dicontohkan oleh para kyai dan habaib. yah, meskipun saya tidak bisa
sepenuhnya seperti mereka, paling tidak ada tekad dan usaha menuju
kesana (mohon doanya ya ...)
(tentu saja, Anda boleh berpendapat yang lain, boleh banget, terserah ..:))
Nah, sudah masuk ya? kalau pacaran bisa menjaga adab-adab tersebut, ya
boleh saja. Bisa apa tidak? ya bisa saja. Kuat apa tidak? nah yang ini,
wallahu a'lam.
jadi meskipun bukan pacar, tapi dalam bergaul
tidak memakai adab, ya tetap dosa. lebih baik yang punya pacar tapi bisa
menjaga adab, daripada tidak punya pacar, tapi adabnya tidak
diperhatikan. Saya lebih bangga, adik2 saya saling mencintai dengan
konsisten terhadap satu pasangan, dengan cita-cita luhur untuk sebuah
pernikahan berkah, dengan berusaha sekuatnya menjaga adab-adabnya, punya
pacar yang setia, menghargai kesucian cinta, serius dengan komitmen I
love U nya, trus bersama berjuang untuk cinta, kita sama-sama belajar
dulu, sembari merancang masa depan kita berdua, syukur2 kedua ortu sama2
sepakat, apalagi bisa mengusahakan menikah cepat, wah betapa indahnya.
cinta yang dijaga, justru bisa menekan nafsu dan syahwat kita. Daripada,
nda punya cinta sejati, nafsu diumbar kemana-mana, hari ini dekat sama
A, besok sama B, esoknya lagi jalan sama C, cuma temen kok .. halah .
alasan, ketahuan banget cuma pengen seneng-seneng doang. Please, carilah
kesejatian kawan .. carilah yang punya makna ..
No comments:
Post a Comment